Cari Blog Ini

Kamis, 21 April 2011

MENI’MATI AL-QUR’AN DENGAN AIR MATA*


Imam Al-ghazali menjelaskan dalam kitab monumentalnya ihya’ ulumiddin bahwasanya bersedih dan  menangis adalah salah satu hal yang di sunnahkan dan di anjurkan dalam membaca Al-qur’an sebagai mana dalam hadist- hadist  berikut:
اتلوالقران وابكوا فان لم تبكوا فتباكوا
”bacalah Al-qur’an dan menangislah apa bila engkau tidak bisa menangis maka berpur-puralah menangis”
ان القران نزل بحزن فاذا قرأتموه فتحازنوا
“Sesunguhnya Al-qur’an diturunkan dengan kesedihan maka apabila kalian membaca Al-quran maka bersedihlah”
Sholeh Al-marri bercerita: “aku membaca Al-qur’an kepada Rasulullah dalam mimpi kemudian Rasulullah berkata wahai sholeh ini adalah bacaan lalau mana tangisan?”
Ibnu abbas berkata :”apa bila kalian membaca ayat sajadah dari surat subhana, maka  janganlah kalian terburu-buru untuk sujud sehingga kalian menangis apabila mata salah satu dari kalian tidak bisa menangis maka hendaknya hatinya-lah yang menangis
 Itulah hadist-hadist dan cerita serta atsar yang menjelaskan bahwasanya menangis adalah salah satu hal yang dianjurkan dalam membaca Al-qur’an
            Kemudian imam hujjatul islam Al-ghazali menjelaskan cara-cara yang dapat membuat seseorang menangis ketika membaca Al-qur’an                                 pertama, dengan mengingat dan merenungi terhadap anacaman dan janji-janji yang terdapat dalam Al-qur’an, kemudian dia merenungi kesembronoannya terhadap perintah dan larangan-larangan serta peringatan yang telah  ditetapkan oleh Allah, pasti dia akan sedih dan menangis, namun apabila kesediahan Dan air mata tidak juga menghadirinya sebagai mana kesedihan dan airmata itu selalu hadir  pada orang-orang yang memiliki hati yang jernih maka hendaknya ia menangisi ketidak mampuannya untuk menghadirkan kesedihan dan airmata ketika membaca Al-qur’an karena hal itu  (ketidak mampuan untuk menghadirkan kesedihan dan air mata ketika membaca Al-qura’an) adalah musibah yang paling besar  {masya’allah}                                                                                   




            Dari penjelasan hujjatul islam diatas kita dapat menyimpulkan bahwasanya cara untuk menghadirkan rasa sedih dan airmata berpusat pada tdabbur {mengangan-angan} maka agar tadabbur itu bisa dilakukan seseorang haruslah membaca Al-qur’an dengan tartil karena tartil sangat membantu untuk tadabbur dan tafakkur, adapun tartil yang dimaksud disini adalah membaca dengan tidak tergesa-gesa sebagaiman yang di jelskan oleh  ummu salmah ketika dia menggambarkan bacaan nabi Muhammad
فاذاهي تنعت قرأة مفسرةحرفاحرفا
Maka di mensifati bacaan (Rasulullah) yang menjelaskan huruf perhuruf
Ibnu abbas berkata: sungguh aku membaca Al-baqarah dan Ali imran dan aku mentartilakan serta merenungkan keduanya itu lebih aku senangi dari pada aku membaca dengan tergesah gesah
 Imam mujahid ditanya tentang dua laki-laki yang sama-sama mengerjakan sholat, berdirinya kedua orang tadi sama lama, hanya saja salah satau dari kedua orang itu hanya membaca Al-baqarah sedangkan satunya lagi membadca Al-qur’an seluruhnya kemudian beliau menjawab; pahala keduanya sama
            Itulah penjelasan hujjatul islam mengenai ksunnatan bersedih daan menangis ketika membaca Al-qur’an serta cara-cara agar seseorang bisa merasakan ni’matnya tangisan disa’at membaca Al-qur’an, semoga kita termasuk orang-orang yang diberi kemampuan untuk meni’mati manisnya bersedih dan menangis ketika membaca Al-qur’an dengan taril dan tadabbur  meskipun dengan berpura-pura (tabakki) pada awwalnya sehingga kita tidak tertimapa musibah besar sebagai mana dijelaskan oleh hujjatul islam karena ketidak mampuan untuk bersedih dan menangis ketika membaca Al-quran 


*disadurkan dari kitab ihya’ ulumiddin karangan imam hujjatul islam Al-ghazali            

Rabu, 23 Maret 2011

Sejarah kodifikasi haditshadits

A. Sejarah Kodifikasi Hadist
Pada masa Nabi Muhammad SAW hingga masa kepemimpinan khulafa’ arrasyidin belum pernah ada kompilasi atau bahkan kodifikasi terhadap hadis-hadis bedahalnya dengan Al-Qur’an yang memang mendapat perhartian husus sehingga nabi memerintahkan para sahabatnya yang menjadi sekretarisnya untuk menulis setiap wahyu yang diturunkan kepada beliau pada saat itu
Diantara sekretaris beliau yang terkenal adalah: abubakar, umar, utsman, mu’awiyah, abban bin sa’idi, kholid bin walid, ubai bin ka’ab, tsabit bin koiys dan yazid bin tsabit, hanya saja mereka tidak menulis Al-quran dalam lembaran-lembaran (suhuf) ataupun dalam bentuk buku (mushaf) bahakan mereka menulisnya pada apa saja yang mudah didapatkan pada sa’at itu seperti pelepah kurma ,potongan-potongan kulit, tulang-tulang dan lain-lainnya kemudian mereka menaruhnya dirumah rasulullah sebagai mana yang disebut dalam riwayat dari zayd bin tsabit beliau berkata “kita berada disisi rasulullah menulis Al-Qur’an pada riqa’ (lembaran yang terbuat dari kulit atau daun) keada’an ini pun berlanjut hingga wafatnya Nabi Muhammad
Kemudian baru pada masa pemerintahan abu bakar beliau melakkukan usaha untuk melakukan pemgumpulan Al-Quran dalam suhuf dengan saran dari umar yang merasa hawatir setelah terjadinya perang yamamah pada tahun 12 hijriyah diantara orang-orang islam dan orang-orang murtad pengikut musailamah Al-kazzab yang menewaskan 70 Qurra’ dan para penghafal Al-qur’an bahkan ada yang berpendapat bahwa jumlahnya mencapai 500 , dalam hal ini abu bakar memilih zayd bin tsabit untuk melakukan pengumpulan Al-Qur’an kemudian suhuf itu di pegang oleh sayydina Umar kemudian oleh putrinya yang bernama Hafshah yang kemudian diminta oleh Sayydina Utsman untuk di salin dalam beberapa mushaf,
Dari cuplikan sedikit diatas mengenai sejarah Al-Quran kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Quran mendapat perhatian khusus yang tidak didapat oleh hadis Untuk memahami permasalahan ini mari kita perhatikan riwayat-riwayat berikut ini
"لاتكتبوا عني غير القران فمن كتب عني غير القران فليمحه" رواه
مسلم






Janganlah kalian menulis dariku selainAl-Qur’an maka barang siapa menulis dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya” hadits riwayat muslim
Dari hadits ini kita dapat memahami mengapa hadits tidak mendapat perhatian khusus sebagaimana Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad, sedangkan pada masa khulafa’urrasydin mereka telah memerintahkan untuk meminimalkan dalam meriwayatkan hadits-hadits sebagaimana digambarkan dalam beberapa riwayat berikut
1)al-Hafiz al-Dzahabi meriwayatkan dalam kitab Tadzikiratul Huffadz beliau berkata sebagian dari hadits-hadits mursalnya Ibnu Abi Malikah adalah bahwasanuya Assiddiq mengumpulkan orang-orang setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, kemudian beliau berkata sesungguhnya kalian menceritakan dari Nabi hadits-hadits yang kalian berselisih didalamnya dan orang-orang setelah kalian akan lebih berselisih, maka janganlah kalian menceritakan dari Nabi sesuatu apapun maka barang siapa yang bertanya kepada kalian katakanlah diantara kita dan kalian terdapat kitabullah maka halalkanlah perkara halalnya dan haramkanlah perkara haramnya
2)diriwayatkan dari Addarawardi dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairah dan aku berkata kepadnya(Abuhuroirah) apakah engkau meriwayatkan hadits pada masa Umar maka dia menjawab andaikan aku meriwayatkan hadits pada masa Umar niscaya dia akan memukulku dengan cemetinya
Mungkin riwayat-riwayat diatas sudah cukup untuk menjelaskan mengapa pada masa khulafa’ ur -rasyidin Belum pernah terjadi penulisan atau bahkan sampai pada tingkat kodifikasi terhadap hadis-hadis, disamping itu semua, bukan berarti hal ini menunjuk kan bahwasanya mereka menolak hadis sebagai salah satu pegangan ummat Islam yang di wariskan oleh Nabi Muhammad, tetapi mereka hanya memerintah -kan untuk meminimalakan seminimal mungkin dalam meriwayatkan hadis-hadis sebagaimana hal itu di jelasakn dalam riwayat berikut:
Al-Hafidz berkata telah meriwayatkan Syu’bah dan selainnya dari bayan dari syi’bi dari Quradzah bin Ka’ab dia bekata ketika Sayyidaina Umar memberangkatkan kita ke Iraq beliau berjalan bersama kita dan kemudian berkata taukah kalian mengapa aku mengiringi kalian? Mereka menjawab’ ya’ sebagi penghormatan kepada kami kemudian beliau menjawab disamping itu sesungguhnya kalian akan mendatangi penduduk desa yang bergemuruh membaca Al-Qur’an sebagaimana gemuruhnya lebah maka janganlah kalian menghalangi mereka dengan hadis-hadis sehingga kalian menyibukkan mereka murnikanlah Al-Qur’an dan sedikitkanlah riwayat dari rasulullah dan aku adalah sekutu bagi kalian, ketka Quradzah tiba, penduduk desapun berkata ceritakanlah hadis-hadis kepada kami lalu Quradzah menjawab, Umar telah melarang kami
Dan mereka meriwayatkan hadis hanya dalam keadaan membutuhkan semisal mereka tidak menem ukan jawaban permasalahan dalam nas-nas Al- Qur’an atau membutuhkan penjelasan dari hadis-hadis sebagai mana dalam riwayat berikut: telah meriwayatkan Hisyam dari ayahnya Mugyrah bin Syu’bah bahwasanya Umar bermusyawarah bersama para sahabat mengenai bayi gugurnya seorang wanita, Mugyrah pun berkata “Rasulullah menetapakan dengan memerdekakan dan Umar pun berkata kepadanya apabila engkau benar maka datangkanlah seseorang yang mengetahui hal itu Mugyrah berkata kemudian Muhammad ibnu Maslamah bersaksi bahwasanya Rasulullah memutus kan dengan memerdekakan
Adapun alsan mengapa nabi Muhammad melarang untuk menulis selain Al-qur’an, dan Abubakar serta Umar memerintahkan untuk meminimalkan dalam meriwayatkan Al-qur’an adalah sebagai mana yang telah di jelasakan oleh para ulama’ bahwasanya hal itu lebih disebakan karena ada alasan secara syara’ atau yang lebih dikenal dengan mahdzurun syar’iyyun seperti dihawatirkannya campur baur antara Hadits dan Al-Qur’an sehingga mudah terjadi distorsi (tahrif wa attabdil) tersebarnya kesalahan dan kebohongan terhadap Nabi karena itu mereka melakukan ferivikasi terhadap setiap riwayat sebagai mana dalam contoh diatas Sayyidina Umar meminta saksi kepada Mugyrah atas apa yang dia riwayatkan
Namun disini yang perlu di garis bawahi bahwa sanya Sayyidina Umar pernah berinisiatif untuk melakukan kompilasi (pengumpulan) terhadap hadis- hadis Nabi hanya saja karna Beliau masih ragu, akhirnya beliaupun membatalkan inisiatifnya itu sebagaimana diceritakan dalam riwayat berikut: “imam Baihaqi meriwayatkan dalam ktab Al-Madkhol dari Urwah bin Zubaiyr bahwasanya Sayyidina Umar bin Al-Khottob hendak menulis hadis-hadis, kemudian beliau bermusyawarah bersama sahabat-sahabat Rasul berkaitan dengan hal itu, maka mereka menyarankan untuk menulis hadis-hadis, maka Sayyidina Umar mulai melakukan istikhoroh mengenai hal itu kepada Allah selama sebulan, kemudian pada suatuhari beliau bangun pagi dan Allah telah menetapkan kepadanya, maka beliaupun berkata, sesungguhnya aku ingin menulis hadis-hadis, dan sesungguhnya aku mengingat suatu kaum sebelum kalian mereka menulis kitab-kitab kemudian mereka menekuninya, hingga mereka meninggalkan Kitabullah, dan sesungguhnya aku demi Allah tidak akan mencampur baurkan Kitabullah dengan sesuatu apapun”
Hingga datang masa Khilafah Umar bin Abdil Aziz yang mana beliau terdorong oleh rasa hawatir akan hilangnya hadits-hadits hingga mengirim surat kepada qadinya di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang isinya kurang lebih sebagaimana berikut: “lihatalh setiap hadis Rasulullah dan kemudian tulislah, karena sesungguhnya aku hawatir terhadap studi keilmuan dan hilangnya para ulama’, dan janganlah engkau terima selain hadis rasulullah, dan hendaknya kalian menyebarkan ilmu dan hendaklah kalian duduk sehingga orang yang tidak tahu menjadi tahu, karena sesungguhnya ilmu tidak akan hancur sehingga menjadi samar”
Kemudian beliau juga menyebarkan surat itu ke penjuru daerah dan memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri untuk membukukan hadis-hadis, maka Muhammad bin Syihab az-Zuhri adalah orang yang pertama kali melakukan kondifikasi terhadap hadis-hadis pada awal tahun seratus hijriyah
Adapun apa yang diperintahkan oleh Khalifah Abdul Aziz ini yang kemudian di realisasikan oleh Muhammad bin Syihab az-Zuhri tidaklah dianggap sebagai perbuatan yang menyimpang karena para ulama’ telah menjelaskan hal itu merupakan satu wasilah untuk menjaga eksistensi hadis serta wasilah untuk menyampaikan syari’at yang mana hal itu wajib untuk dilakukan, disamping itu Nabi Muhammad sendiri telah memperbolehkan untuk menulis hadis terhadap Abdullah Bin Amr apa yang di dengarkannya dari Nabi. dan dalam sebuah riwayat yang terdapat pada Shohihain dari Abi Hurairah :
عن ابي هريرة"ان النبي خطب عام الفتح فقام رجل من اهل اليمن يقال له ابو شاه و فقال اكتبولي يارسول الله فقال اكتبوا لابي شاه"متفق عليه
Dari Abi Hurairah RA “sesungguhnya Nabi Muhammad ber khutbah pada a’mul fathi kemudian berdiri seorang laki-laki yang bernama Abi Syahin dia berkata tuliskanlah untuk ku (khutbah yang dia dengar) ya Rasulullah, Rasulpun menjawab tuliskanlah untuk Abi Syah ” disamping itu juga kehawatiran mengenai akan bercampur baurnya hadis dan Al-Quran telah hilang dengan suksesnya usaha kompilasi terhadap Al-Qur’an yang dimulai dari masa pemerintahan Abu Bakar hingga terkodifikasi pada masa Sayyidina Ustman yang mana hal itu menjadikan Al-Qur’an aman dari percampurbauran dengan hadist serta menjaganya dari distorsi (tahrif)

Minggu, 19 September 2010

BULAN SYAWWl

TENTANG PUASA 6HRI BULAN SYAWAL
• (39) باب استحباب صوم ستة أيام من شوال اتباعا لرمضان
204 - (1164) حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة بن سعيد وعلي بن حجر. جميعا عن إسماعيل. قال ابن أيوب: حدثنا إسماعيل بن جعفر. أخبرني سعد بن سعيد بن قيس عن عمر بن ثابت بن الحارث الخزرجي، عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه ؛ أنه حدثه ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال
"من صام رمضان. ثم أتبعه ستا من شوال. كان كصيام الدهر".
• apakah puasa ini dapat dilaksanakan dengan hari yang tidak berurutan?
• ، قال أصحابنا: والأفضل أن تصام الستة متوالية عقب يوم الفطر، فإن فرقها أو أخرها عن أوائل شوال إلى أواخره حصلت فضيلة المتابعة لأنه يصدق أنه أتبعه ستاً من شوال،
• dalam kitabnya alminhaj syarah sohih muslim imamnawawi menulis pendapat ulamak bahwasanya yang lebih utama adalah berpuasa enam hari berurutan setelah hari raya fitri namun apabila orang tersebut berpuasa dengan hari yang tidak berurutan maka dia tetap mendapat keutamaan puasa syawal ini karna dia telah mencocoki pada hadits diatas yang berarti enem hari dari bulan syawal